Tragedi Kanjuruhan : Identitas Sosial Hingga Perilaku Agresifitas Suporter Sepak Bola Indonesia

Oleh : Akhmad Zhauqi Thahir S.Psi, Direktur Eksekutif Cerita Demokrasi.

OPINI, DIKITA.id – Laga Arema kontra Persebaya Surabaya pada hari Sabtu (1/10) yang lalu menyisakan duka mendalam. 127 suporter tim tuan rumah yaitu Aremania meninggal dunia. Disebabkan bentrok dengan kepolisian. pertandingan kedua tim sangat panas dan seruh sebagai status derby Jawa Timur ini merupakan rival abadi dalam kancah persepakbolaan Indonesia sejak tahun 90an sampai sekarang.

Kita ketahui Aremania merupakan salah satu basis suporter terbesar di Indonesia dan kefanatikannya terhadap tim Arema tidak usah di pertanyakan lagi. Kejadian tragis ini bukan yang pertama kali. Sepanjang tahun 2017–2018, setidaknya ada 9 orang suporter bola yang meregang nyawa akibat carut marutnya dalam pengelolaan kompetisi sepak bola di Indonesia. salah satunya suporter Persija Jakarta yaitu Almarhum Haringga yang tewas di keroyok  suporter Persib Bandung yaitu Viking.

Mengapa peristiwa ini bisa berulang kali terjadi? Dalam tulisan ini mungkin sedikit menjelaskan bagaimana hubungan identitas sosial yang memunculkan sikap agresi dengan perjalanan suporter sepak bola Indonesia yang begitu fanatis. Ada beberapa pendekatan  dijelaskan dalam Psikologi Sosial yang dapat membantu kita untuk memeriksa anatomi kekerasan suporter sepak bola yang terjadi terhadap Aremania yang menelang 128 korban jiwa akibat bentrok dengan aparat keamanan.

Elemen psikologis individu seperti kecenderungan antisosial dan benturan pada kelompok lawan, sering disebutkan sebagai determinan kekerasan kolektif. Namun, teori identitas sosial lebih sering dijadikan referensi untuk menjelaskan proses peleburan identitas pribadi menjadi identitas kelompok.

Hal ini menjelaskan bahwa pembentukan konsep diri seseorang juga melibatkan penghayatan atas identitasnya dalam suatu kelompok sehingga pandangan individu bahwa dirinya unik ( perbedaan individu ) menjadi kabur. Proses ini dikenal sebagai depersonalisasi, kondisi dimana identitas personal melebur dalam identitas kelompok. Implikasinya, kita akan cenderung membandingkan individu menjadi satu-dua berdasarkan kategori berdasarkannya dalam suatu kelompok sosial.

Dalam kasus kekerasan yang kemarin terjadi, kelompok suporter Aremania menyaksikan kekalahan tim kesayangannya terhadap rival abadinya Persebaya Surabaya dengan skor 2-3 menjadi pemantik terjadinya ricuh karena gengsi dan rasa malu seluruh kelompok disebabkan fanatisme yang sebenarnya tidak boleh terjadi. Batas yang antara ‘kita’ dan ‘mereka’ inilah yang membentuk penilaian positif dan solidaritas pada sesama anggota kelompok, sekaligus dan jelas kecintaan suatu kebanggan yang berlebihan dan kebencian pada anggota kelompok lain terutama klub Persebaya Surabaya.

Ketika pembeda antara ‘kita’ dan ‘mereka’ menjadi bermakna, kepatuhan individu pada norma kelompok menjadi meningkat. Fanatisme adalah suatu konsekuensi  yang sulit dihindari, apalagi rival abadi yang sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu.

Penjelasan Identitas sosial ini pada awalnya dibentuk melalui proses yang dinamis, yang melibatkan interaksi antar individu, baik dengan sesama anggota kelompoknya maupun dengan anggota kelompok lain, serta interaksi yang terjadi antar kelompok sosial.

Hal ini mempunyai kontribusi yang lebih besar dalam memancing terjadinya kekerasan disebabkan harga diri, martabat dan suatu kebanggan yang dimiliki oleh Suporter Teori identitas sosial mungkin dapat memberikan penjelasan yang baik bagaimana fanatisme bisa terbentuk, tapi belum cukup untuk menjelaskan mengapa kekerasan kolektif dapat terjadi.

Jika kita cukup puas menyimpulkan bahwa fanatisme adalah penyebab kejadian kemarin, tidak ada hal yang dapat dilakukan. Tidak logis apabila melihat fanatisme sebagai penyebab utama, karena tidak semua fanatisme dapat dengan mudah berubah menjadi tindak kekerasan. Dengan kata lain, adanya permusuhan antar kelompok suporter bukan kondisi yang mencukupi dalam tindak kekerasan. Di sinilah pendekatan perilaku antar-kelompok mengisi kekurangan itu. Inti masalahnya bukan terletak pada perilaku kekerasannya, melainkan pada perilaku para elit yang terlibat dalam Liga Indonesia itu sendiri.

Hal ini juga menjelaskan kelompok suporter Aremania yang sangat membanggakan diri dan kelompoknya dengan suatu kebanggan dan sejarah yang panjang serta telah memenangi Liga indonesia pada tahun 2009/2010 dimana bisa membela dan mendukung klub Arema Malang dengan fanatisme yang kuat sangat berpotensi memunculkan sikap agresi dalam identitas sosialnya kepada kelompok lain, atau terhadap klub sepak bolanya itu sendiri diketahui menelan 128 korban jiwa yang merupakan bencana sepak bola terbesar no 2 se-dunia.

Menurut Bron dan Byrene dalam bukunya berjudul Psikologi sosial Robert a Baron Donn Byrne edisi kesepuluh agresi merupakan berbagai perilaku yang diarahkan untuk membahayakan makhluk hidup lain. Agresivitas yang dilakukan para suporter salah satunya terjadi karena adanya deindividuasi yaitu suatu kondisi yang relatif anonim dimana individu tidak dapat dikenali.

Deindividuasi memungkinkan pudarnya identitas personal anggota kelompok. Identitas pribadi ataupun keyakinan yang dimiliki individu tenggelam oleh nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok. Kelompok memang lebih irasional, lebih implusif, dan lebih kekanak-kanakan dari pada jiwa individu-individu sebagai perorangan Perilaku agresi suporter juga disebabkan oleh faktor lingkungan, dalam hal ini lingkungan yang dimaksud adalah teman sebaya.

Kedekatan yang terjalin antara para suporter yang berusia remaja banyak dipengaruhi oleh ikatan emosional yang kuat dikarenakan kesamaan tujuan, kesenangan dan kepentingan. Mereka kemudian membentuk suatu kelompok dan memainkan peran sosialnya sebagai para suporter.

Peran sosial tersebut memberikan kepuasan kepada anggota, dalam pergaulan sebuah kelompok ada pengaruh kuat dari anggotanya sehingga remaja yang tergabung dalam sebuah kelompok akan mengikuti norma-norma ataupun nilai yang dipengang oleh kelompok tersebut. Kecendrungan untuk mengikuti perilaku ataupun sikap dalam sebuah kelompok disebut suatu konformitas.

Dalam tulisan opini ini menjelaskan dinamika dunia sepak bola indonesia yang sangat jarang di sorot akhirnya bom waktu itupun meledak di laga rival antara Arema Malang VS Persebaya Surabaya, yang merupakan kebanggan masyarakat bawah hingga atas, suporter sering disebut sebagai pemain ke-12, seharusnya klub punya strategi yang jelas tentang pencegahan tindakan kekerasan suporter.

Di beberapa Liga di Eropa misalnya menerapkan strategi fan coaching, dimana suporter dididik untuk menghormati kelompok suporter lain. Ketika laga kandang, suporter memperlakukan tim lawan dengan hormat sebagai tamu kehormatan. Sedangkan pada laga tandang, suporter mampu membawa diri dan mendukung tim tuan rumah. Kualitas dan gengsi dari kompetisi yang terletak pada rasa hormat ini.

Strategi lain yang bisa dilakukan adalah memberikan hukuman yang keras pada klub yang suporternya melakukan kekerasan. Denda yang besar, menjalani pertandingan tanpa suporter bahkan dilemparkan ke zona degradasi adalah hukuman yang layak diterapkan pada klub yang tak mampu mendidik suporternya. Selama tidak ada perubahan fundamental yang dilakukan manajemen klub, operator liga dan PSSI setelah kejadian ini, bisa dipastikan akan ada korban lainnya yang jatuhan dalam pertandingan-pertandingan yang lain.

***

Akhmad Zhauqi Thahir, S.Psi, Direktur Eksekutif Cerita Demokrasi.
image_pdfimage_print
Spread the love

Komentar