Hardiknas, Apakah Hanya Sekedar Euforia?

Oleh : Muhammad Aswar Darwis, Mahasiswa Pascasarjana Adminstrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial & Politik Universitas Hasanuddin (Wakil Sekertaris Umum Badko HMI Sulselbar Periode 2018 – 2020)

OPINI, DIKITA.id – Hari ini tepat 02 Mei 2020, sebagai peringatan Hari Pendidikan Nasional dan juga hari kelahiran pelopor pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara 02 Mei 1899. Setiap tahunnya diperingati hampir seluruh masyarakat Indonesia, digelar upacara peringatan Hardiknas, resepsi malam puncak, pameran-pameran dan segala gegap gempita euforia pendidikan, tanpa ada perenungan, evaluasi atau apalah namanya mengenai keberjalanan/keberlanjutan sistem pendidikan di Indonesia. Sehingga, setiap tahunnya Hari Pendidikan hanyalah peringatan semata dan esensi pendidikan sekarang hanyalah belajar di kelas dan  bagaimana mendapatkan nilai bagus ketika ujian. Padahal sejatinya, esensi pendidikan itu sudah tertuang dalam undang – undang pendidikan sistem pendidikan nasional. (Baca : Bab I, pasal 1-3).

Tahun ini juga mengalami perbedaan 360 derajat. Perbedaan ini terjadi lantaran Indonesia sedang kedatangan tamu tak diundang yakni pandemi Covid-19, akibatnya, tak ada satupun menggelar eforia di Hari Pendidikan Nasional dan semoga ini bisa menjadi momentum untuk evaluasi bersama sistem pendidikan nasional kita.

Pesan Istimewa Ki Hajar Dewantara
R.M Soewardi Soeryaningrat atau lebih dikenal Ki Hajar Dewantara sudah jauh hari meletakkan dasar sistem pendidikan nasional kita kepada tenaga pendidik. Pertama; tenaga pendidik itu di depan memberikan tauladan yang baik, kedua; tenaga pendidik itu di tengah mengajak kepada murid menghadirkan ide/gagasan, ketiga; tenaga pendidik itu di belakang wajib memberikan arahan/dorongan. (Baca : Menuju Manusia Merdeka).

Kata kunci pesannya adalah memberikan kemerdekaan anak-anak berpikir yaitu jangan selalu ‘dipelopori’ atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain, akan tetapi biasakanlah anak-anak mencari sendiri segala pengetahuan dengan menggunakan pikirannya sendiri. Maksudnya, sebuah proses pendidikan biarkan anak-anak berpikir sendiri, dengan begitu mereka memiliki ide yang orisinil dalam berpikir maupun bertindak di masa depan. Pendidikan juga dinilai berhasil jika anak bangsa bisa mengenali tantangan apa yang ada di depan mereka, kemudian bisa berpikir dan berbuat untuk menyelesaikan tantangan itu.

Belajar dari Karaeng Pattingalloang
Selain itu di masa lalu, pada abad 17 hadir Karaeng Pattingalloang, intelektual dari Kerajaaan Tallo – Makassar yang dikenal sebagai “Tokoh Renaissanse dari Timur”. Dia juga dikenal sosok pemimpin yang mengkampanyekan kesadaran multikultural. Dari situasi itu melalui proses belajar, baik dari keluarganya, maupun dari upayanya sendiri, yang dibuktikan dengan koleksi 15 ribu buku dan menguasai delapan bahasa asing.

Karaeng Pattingalloang sampai pada kesadaran multikultural yakni memandang bahwa ‘semua orang yang berbeda-beda  pada dasarnya memiliki hak yang sama. (Baca ; Karaeng Pattingalloang Raja Tallo).

Kesadaran multikultural ini adalah pekerjaan yang belum selesai. “Itu masih jauh, sangat jauh, karena itu peran pendidik. Belajar dari warisan tradisi dan pemahanan tentang multikulturalisme seperti itu pada dasarnya sudah ada di abad ke-17 di negeri ini, hanya saja lama kelamaan dilupakan.

Perjuangan Tan Malaka
Tan Malaka atau bernama lengkap Sultan Ibrahim Datuk Tan Malaka salah satu Tokoh Pergerakan Kemerdekaan Indonesia pernah meletakkan landasan dasar pendidikan yaitu Pendidikan adalah dasar untuk melepaskan bangsa dari keterbelakangan dan kebodohan serta belenggu Imperialisme-Kolonialisme.

Tan Malaka menekankan pada materi pendidikan dan mengenai hal itu dapat disimpulkan menjadi tiga bagian yaitu, pertama; memberi senjata yang cukup buat mencari kehidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, membaca, menulis, ilmu bumi, bahasa asing, bahasa Indonesia dan bahasa daerah, kedua; memberi haknya terhadap murid-murid yakni harus dengan jalan pergaulan (berorganisasi – berdemokrasi), ketiga; menujukkan kewajiban terhadap berjuta-juta kaum Kromo (rakyat jelata).

Pemikiran Tan Malaka mengenai pendidikan dianggap sebagai modal dasar bagi kemajuan dari bangsa yang merdeka dalam politik, ekonomi, sosial dan budaya sehingga menjadi bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Praktek pendidikan Tan Malaka bisa disebut sebagai pedagogik transformatif, yaitu proses memanusiakan manusia untuk dapat membentuk masyarakat baru dan pengetahuan baru yang diciptakan oleh keterlibatan mereka sendiri. Hal ini mengusahakan agar pendidikan di posisikan supaya masyarakat mempunyai kesadaran dari pendidikan yang tertindas dan tertinggal. Setelah sadar, diharapkan masyarakat dapat membongkar tatanan atau relasi sosial yang tidak adil dan mengembalikan kemanusian manusia.

Pemikiran pendidikan kritis yang digagas dan di implememntasi oleh Tan Malaka pada masa pra-kemerdekaan selayaknya menjadi inspirasi dan landasan pendidikan nasional yang berkarakter pancasila sesuai kebudayaan bangsa Indonesia dan jauh dari praktek- praktek pendidikan yang liberalis serta kapitalis sehingga merubah atau menodai pendidikan yang berdasarkan falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila. (Baca : Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang Sosialistis).

Dibalik dari semua warisan dasar sistem pendidikan nasional kita, semoga itu bisa menjadi bahan acuan merumuskan kembali sistem pendidikan nasional. Bagaimana mungkin kita bisa banyak berharap menghadirkan generasi masa depan, jika kita tak mampu mengoreksi banyak kelemahan itu.

Kita ini sangat kaya dari segi warisan kultur sistem pendidikan nasional, hanya saja upaya mengarusutamakan itu dalam pendidikan masih belum menjadi pilihan. Padahal di level internasional seperti di UNESCO (The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation) misalnya, Indonesia diakui sebagai negara dengan warisan kultur yang tidak tertandingi.

Semoga upaya kita untuk belajar dari kekayaan itu diteruskan kepada generasi penerus, dimulai dari PAUD sampai tingkatan Perguruan Tinggi diharapkan bisa mendukung tercapainya harapan kita bersama, untuk membentuk manusia yang berkarakter dan berbudaya Indonesia. Sebab, pendidikan bukan persoalan gelar dan nilai tapi lebih kepada moral serta menerjemahkan kebudayaan lokal masing-masing sebagai dasar  membentuk manusia yang berkarakter dan berbudaya Indonesia.

Foto : Muhammad Aswar Darwis, Mahasiswa Pascasarjana Adminstrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial & Politik Universitas Hasanuddin (Wakil Sekertaris Umum Badko HMI Sulselbar Periode 2018 – 2020)
image_pdfimage_print
Spread the love

Komentar