Cammana, Pecinta Nabi Penabuh Rebana

Oleh : Ridwan Alimuddin (Ketua AJI Kota Mandar)

OPINI, DIKITA.id – Sebenarnya saya harus ke Jakarta untuk mengikuti acara diskusi buku Manusia Bugis di Bentara Budaya Jakarta, 16 Maret 2006, tetapi karena saya tiba-tiba diserang demam, rencana tersebut gagal. Dalam proses penyembuhan saya mendapat informasi bahwa Ibu Cammana’ ada di Yogyakarta untuk kegiatan rekaman. Ini pasti hikmah batalnya saya ke Jakarta, gumam saya dalam hati.

Singkat cerita, keesokan harinya bersama teman-teman dari Asrama Todilaling, 17 Maret 2006 atau malam Sabtu, untuk kesekian kalinya saya datang ke Kasihan untuk mengikuti pengajian yang dilakukan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, yaitu Mocopat Syafaat. Mocopat Syafaat merupakan salah satu acara rutin yang dilakukan Cak Nun dan Kyai Kanjeng setiap bulan, tepatnya tanggal 17. Dua acara bulanan yang lain adalah Padhang Bulan, dilaksanakan di Jombang, Jawa Timur setiap bulan purnama dan Kenduri Cinta di Jakarta (saya lupa tanggalnya).

Pelaksanaan Mocopat Syafaat bertempat di panti asuhan yang dibina Cak Nun di Kasihan, Bantul. Desa kecil yang berada beberapa kilometer dari jalan lingkar (ring road) yang mengelilingi Yogyakarta.  Dulu merupakan kediaman Cak Nun, nanti setelah menikah, Cak Nun pindah ke Kadipiro, di kota Yogyakarta.

Saat saya datang, sekitar jam 20.30, suasana belum begitu ramai namun acara sudah dimulai dan para tukang parkir sudah pada sibuk menerima peserta pengajian. Motor-motor diparkir di halaman rumah-rumah penduduk, di bawah pohon bambu, di jalan kampung, dan tempat-tempat lain. Di kanan-kiri jalan utama beberapa pedagang sudah menggelar dagangannya, umumnya berbau-bau Cak Nun atau Kyai Kanjeng, misalnya kaset, buku-buku shalawat, dan stiker.

Saya langsung menuju sekitar panggung untuk kemudian masuk ke ruang utama rumah Cak Nun yang sekarang ditempati adiknya. Salah satu kru Kyai Kanjeng menyampaikan bahwa Ibu Cammana’ sedang ada di dalam bersama Cak Nun. Saat saya masuk, Cak Nun, Ibu Cammana’, dan seorang kyai dari Semarang sedang ngobrol. Saya langsung menyalaminya satu per satu.

Awalnya Ibu Cammana’ dan Ibu Mina tidak begitu kenal saya. Ini disebabkan saya sudah potong rambut. Nanti setelah saya bertemu Kak Ila (Fadhilah Dotja), tetangga saya di Tinambung yang juga datang sebagai pendamping bersama Bapak Khalid Rasyid, Ibu Cammana’ dan Ibu Mina seakan-akan mau memeluk saya dan bercanda “Syukurlah kamu sudah tobat” (dalam bahasa Mandar). Beberapa tahun lalu, saat Ibu Cammana’, Ibu Mina, dan beberapa pemain rebana yang lain datang ke Yogya, mereka menginap di tempatku. Jadi sudah akrab, selain masih terhitung kerabat.

Pengajian Cak Nun berbeda dengan pengajian-pengajian pada umumnya. Jangan dibayangkan ustadznya hanya bicara sendiri menyampaikan ayat-hadist beserta penjelasannya. Di pengajian Cak Nun, khususnya cukup unik: dihadiri banyak lapisan masyarakat dan banyak golongan (termasuk penganut agama lain), ada musiknya, ada diskusi, dan dipenuhi shalawat. Adapun Cak Nun adalah moderatornya sekaligus penceramah, penyanyi, dan pen-shalawat.

Meski Cak Nun memainkan banyak peran, acara pengajian memberi banyak ruang dan waktu ke pihak lain, misalnya kelompok shalawatan. Teater Flamboyant dan Sdr. Hijrah Azis, mahasiswa Mandar yang pernah menuntut ilmu di Yogya, sudah sering tampil di acara pengajian Cak Nun. Terakhir Teater Flamboyant tampil di acara Mocopat Syafaat pada tanggal 17 Juli 2005 lalu.

 Jika acara diandaikan semacam kurva, ada pihak yang menjadi tanjakan, menjadi puncak, dan ada yang menjadi lembah. Cak Nun, Kyai Kanjeng dan pihak-pihak yang tampil bersinergi untuk membentuk kurva tersebut. Malam ini, Parrabana Tobaine dan WS Rendra menjadi puncaknya. Untuk pertama kalinya saya menyaksikan Cak Nun menangis tersedu-sedu yang mencerminkan kebahagiaannya, dua orang yang sangat dia hormati, Ibu Cammana’ dan Si Burung Merak, hadir bersamaan di malam ini.

Cak Nun begitu menghormati Ibu Cammana’, karena Ibu Cammana’ adalah hamba Allah yang menyampaikan shalawat dan cintanya ke Nabi Muhammad SAW lewat rebana; begitu menyayangi WS Rendra, karena dia adalah hamba manusia yang menemukan hidayah Allah. Ya, WS Rendra, seniman besar Indonesia, adalah seorang muallaf.

Saya pribadi tidak menduga mendapat kebahagiaan yang tidak terkira. Siapa yang tidak akan bahagia, orang-orang yang saya figurkan Cak Nun dan Rendra tampil bersama dengan perempuan yang merupakan “harta” berharga Mandar, Ibu Cammana’. Kejadian malam itu adalah sejarah yang pertama dan mungkin sekaligus yang terakhir: tiga maestro di atas satu panggung. Uniknya, untuk menyaksikannya tidak perlu bayar, bertanda mereka bertiga, saya dan jamaah yang lain dipertemukan oleh nilai-nilai spiritual, bukan semangat kapitalisme.

Acara diawali penampilan salah satu kelompok pengajian di Yogyakarta. Mereka melantunkan shalawat dan pesan-pesan agama lewat nyanyian yang menggunakan bahasa Jawa. Setelah itu kegembiraan yang diliputi semangat spiritual ditampilkan Kyai Kanjeng dengan musiknya yang khas. Ah, alunan shalawat dan ayat-ayat Allah begitu indah dilantunkan Cak Nun dan kru Kyai Kanjeng. Salah satu suaranya sangat tipis, menyayat hati.

Berikutnya, Cak Nun mempersilakan Rendra menyampaikan sepatah-dua kata akan kesannya menghadiri pengajian malam ini. Meski Cak Nun dan Rendra sering terlibat diskusi pribadi di Yogya dan Cak Nun merupakan salah satu guru spiritual Rendra, namun Rendra baru pertama kali hadir di pengajian Mocopat Syafaat. Rendra kaget, sebab nuansanya sangat berbeda. Rendra yang juga akrab dipanggil Mas Willy kemudian menyampaikan kesannya dan rasa syukurnya bisa hadir di acara pengajian ini bersama jamaah lain.

Setelah Rendra, berikutnya giliran penampilan parrabana tobaine dari Mandar, Ibu Cammana’ yang didampingi keponakannya, Ibu Mina, dan kedua anaknya, Hatijah dan Tasriani. Di bagian belakang duduk Kak Ila bersama Novia Kolopaking, di sisi kanan panggung Rendra dan Pak Khalid, dan di sisi kiri Cak Nun. Di bagian panggung yang lain kru Kyai Kanjeng bersama alat-alat musiknya.

Mataku berkaca sambil mengarahkan kamera ke mereka menyaksikan momen bersejarah itu dan hatiku bergetar ketika telapak lembut Ibu Cammana’ mulai menabuh rebananya; ketika suara khasnya mengumandangkan shalawat dalam bahasa Mandar di tengah masyarakat Jawa.

Jamaah terkesima. Ya, mereka tidak sepenuhnya memahami kata-kata yang dikumandangkan oleh Ibu Cammana’ dan lainnya, tetapi apa yang terdengar mempunyai nilai-nilai universal, baik itu isi shalawat yang sebagian dimengerti oleh jamaah (berbahasa Arab) maupun musik yang bersumber dari rebana. Rendra pun begitu serius menyaksikan kejadian yang berlangsung disisinya. Ada apa dengan Ibu Cammana’ dan tabuhan rebana dan suaranya sehingga Cak Nun begitu mati-matian mencintainya, sehingga Cak Nun mendatangkannya ke Yogya?

Rebana Mandar yang Mengesankan.

Dalam kacamata budaya Nusantara, Halim HD, budayawan Solo yang saat ini terlibat dalam pengembangan perteateran di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, Ibu Cammana’ adalah maestro, seseorang yang sangat ahli dalam bidangnya dan menekuninya selama puluhan tahun, bersama penari topeng dari Sunda, salah satu bissu di Bugis, dan seorang penari dari Bali. Semuanya sudah berumur tua.

Adapun dalam dunia agama, Ibu Cammana’ adalah “pengkhotbah”, yang menyampaikan pesan-pesan moral, nilai-nilai Islam, dan shalawat terhadap Rasulullah SAW lewat media seni, yaitu musik rebana. Unik dan sekaligus ironi, sebab bisa dikatakan Ibu Cammana’ dan kerabat yang biasa mendampinginya, merupakan satu-satunya parrabana tobaine, penabuh rebana yang dilakukan perempuan, di Mandar, Sulawesi Barat.

Tidak akan ada yang bisa menyamai tingkat kemahiran dan semangat spiritual yang dimiliki Ibu Cammana’. Ibu Cammana’ hanya ada satu di dunia ini, baik lampau maupun di masa mendatang. Meski demikian, itu tidak berarti bahwa generasi muda ataupun komponen masyarakat lain tidak bisa menirunya.

Semangat dan komitmen Ibu Cammana’ terhadap dunia agama dan seni harus kita hargai, apresiasi, dan kita tiru dalam bidang lain. Dan apa yang dilakukan Ibu Cammana’ harus menjadi pelajaran untuk generasi mendatang. Bagaimana caranya? Inilah yang dilihat oleh Cak Nun, bahwa kehidupan dan kegiatan berkesenian Ibu Cammana’ harus didokumentasikan. Salah satunya adalah merekam penampilan dan tabuhan rebana Ibu Cammana’.

Apa yang dilakukan Cak Nun harus membuat kita “cemburu” (dalam arti positif); harus ada kesadaran. Maksudnya, apresiasi penghargaan yang kita berikan ke Ibu Cammana’, dan unsur kebudayaan Mandar yang lain, jangan hanya tercermin dalam kebanggaan bahwa “Saya sebudaya dengannya”. Saat ini harus ada langkah konkret, baik langkah dokumentasi, pelestarian (berupa tetap melaksanakan unsur budaya tersebut selama tetap sesuai ajaran agama), mempelajarinya (melakukan penelitian) maupun menjadi pelaku budaya itu sendiri.

Cak Nun dan Kyai Kanjeng kembali menampilkan keahliannya! Ketika Ibu Cammana’ dan pendampingnya melantunkan lagu yang terakhir; ketika lantunan suara Ibu Cammana’ menggunakan bahasa Indonesia yang isinya bertanda “kami akan pamit dan menyampaikan terima kasih”, terdengar tepukan meriah dari jamaah.

Cak Nun melihat itu sebagai musik dan kemudian meminta jamaah untuk terus bertepuk tangan. Dan secara tiba-tiba musik Kyai Kanjeng masuk ke dalam irama rebana. Musik yang terdengar begitu hebat, begitu membahana, begitu membahagiakan, dan amat mengharukan. Wajah Ibu Cammana’ berseri dan menyunggingkan senyum, tangannya semakin rampak dalam kontrol menabuh rebana, dan lantunan suara dan lagunya terdengar semakin unik. Ya, Ibu Cammana’ menyanyi dalam Bahasa Indonesia. Inilah yang “mengajak” Cak Nun dan Kyai Kanjeng serta jamaah untuk masuk ke dalam irama rebana. Mereka memahami maksud kata-kata Ibu Cammana’ dan irama rebananya yang rancak pun memungkinkan untuk itu.

Setelah penampilan parrabana mandar yang berkolaborasi dengan Kyai Kanjeng dan jamaah di lagu terakhir, giliran penampilan Si Burung Merak, WS. Rendra.

Rendra masih tampak muda, padahal umurnya baru lewat beberapa bulan dari kepala tujuh. Hampir seusia dengan Ibu Cammana’. Rambutnya yang sedikit gondrong namun rapi terlihat legam. Penampilannya sangat bersahaja, padahal sebenarnya dia adalah tokoh yang telah memberi warna dunia perteateran Indonesia.

Oleh Cak Nun, Rendra didaulat untuk membacakan beberapa puisinya. Ini merupakan kedua kalinya saya menyaksikan secara langsung penampilan Rendra berpuisi. Kejadian pertama delapan tahun lalu, menjelang puncak reformasi. Saat itu UGM mengundang Rendra, Iwan Fals dan beberapa budayawan untuk memberi semangat mahasiswa di dalam menggerakkan roda reformasi.

Saat itu, antara Rendra dengan penonton dipisahkan jarak yang jauh dan panggung yang tinggi. Malam ini, Rendra pas berada di depanku, hanya beberapa senti. Saya hampir tak percaya dan terpukau. Saya manfaatkan moment langka ini untuk mengambil foto Rendra dari berbagai sudut.

Rendra membawakan beberapa puisinya dengan beragam judul namun hanya satu tema, yaitu tentang ibu. Pantas Rendra disebut Si Burung Merak. Selain ada puisinya yang memang berjudul demikian, penampilannya pun cukup memukau, berkharisma, dan membius. Begitu alami, tanpa ada penampilan yang terasa dibuat-buat, matanya tajam, suaranya bergetar, lirih, menyayat hati, dan gerakannya sangat alami.

Inilah puncak penampilan malam ini, tabuhan rebana dan nyanyian Ibu Cammana’. Kejadian yang terjadi ribuan kilometer dari Tanah Mandar, di seberang lautan, dan disaksikan oleh Cak Nun, Rendra, dan jamaah lain di pusat Tanah Jawa, Yogyakarta. Penampilan Rendra tidak menjadi penyempurna penampilan Ibu Cammana’, sebab masing-masing menampilkan cahayanya masing-masing.

Perempuan Limboro di Dapur Rekaman.

Keesokan malamnya, 18 Maret 2006, Ibu Cammana’ dan tiga pemain rebana yang lain masuk dapur rekaman. Tepatnya di Studio Geese, studio Kyai Kanjeng yang juga merupakan kediaman Emha Ainun Nadjib, Kadipiro, Yogyakarta. Selain rekaman musik dan shalawat Kyai Kanjeng, Band Letto, band anak muda yang dimotori anak Cak Nun, Sabrang Mowo Damar Panuluh yang akrab dipanggil Noe, juga dilakukan di sini.

Menarik menjadi saksi mata ketika parrabana tobaine dari Mandar masuk ke studio. Saya menebak, Ibu Cammana’ pasti tidak pernah membayangkan kejadian ini semua. Dan proses kesenian yang beliau lakukan pasti tidak didasari cita bahwa ingin membuat album untuk kemudian terkenal. Melainkan karena kecintaannya kepada Nabi Muhammad SAW.

Perempuan dari desa masuk ke ruang rekaman, bagaikan masuk ke dunia lain. Suhu ruangan yang dingin karena AC, dinding-dinding yang desain dan bahannya yang khas karena dibuat khas, dan peralatan serta kabel yang bersiliweran ke sana-sini. Namun Ibu Cammana’, Ibu Mina, Hatija, dan Tasriani tidak amat-kaku dalam atmosfir ini. Mereka penuh canda berhadapan itu semua. Misalnya ketika menyaksikan tempat telur –kertas coklat yang dibuat ada lubang dan tonjolan agar telur tetap aman meski dibuat bertumpuk– yang dibuat menjadi plafon studio ini.

Ibu Cammana’ dan yang lain pun cukup kooperatif dalam proses rekaman, baik persiapan maupun pelaksanaan rekaman itu sendiri. Semua berjalan lancar berkat bantuan Pak Khalid, yang menerjemahkan instruksi operator ke Ibu Cammana’ dan anggota parrabana yang lain; dan Kak Ila, yang setia mendampingi parrabana di dalam ruangan yang “aneh” ini.

Ada dua ruang utama di Studio Geese ini, yaitu ruang rekaman dan ruang operator. Keduanya dibatasi dinding yang dibuat bersekat dan jendela yang dilapisi kaca khusus. Di ruang rekaman hanya ada pemain rebana dan Pak Khalid, yang juga mengenakan headphone. Adapun ruang satunya adalah ruang operator. Di ruangan ini terdapat satu set komputer canggih dengan dua monitor yang terdapat di atas piano klasik dan beberepa speaker. Di ruang ini ada Cak Nun, dua operator, beberapa kru Kyai Kanjeng, Kak Ila, dan saya sendiri.

Sekali lagi saya sangat bangga menyaksikan peristiwa dari balik kaca Ibu Cammana’ dengan headphone super besar di kepalanya, didepannya terpasang mic yang menjadi icon atau simbol “dapur rekaman”, sambil memeluk rebananya. Sangat unik dan mengesankan!

Malam ini Ibu Cammana’ diminta untuk memainkan empat lagu guna melengkapi hasil rekaman yang dilakukan malam sebelumnya, yang biasa diistilahkan penampilan live (langsung). Jadi bisa menjadi satu album “Shalawat Parrabana Tobaine”, ini istilah saya saja.

Proses rekaman dibagi dua, yaitu masing-masing dua lagu. Setelah tahap pertama, kepada Ibu Cammana’ dengan yang lain, diperdengarkan hasil rekaman dan contoh setelah diberi efek khusus. Ini menjadi bahan evaluasi bagi Ibu Cammana’ dan pemain lainnya untuk tahap berikutnya. Proses rekaman selesai menjelang tengah malam. Ibu Cammana’ sampai kelelahan namun tetap ceria.

Awalnya proses rekaman tidak berjalan lancer, sebab para pemain masih sedikit kaku “Ah, permainan kita akan direkam”. Maksudnya, suasana saat mereka bermain jauh berbeda dengan apa yang pernah mereka alami. Posisi mereka berbeda, kali ini mereka berhadap-hadapan. Di satu sisi Ibu Cammana’, di sisi lain tiga pemain lainnya. Di depan mereka pun ada banyak mic berdiri.

Komposisi ini merupakan jalan tengah. Sebelumnya lebih “radikal”, yaitu memisahkan antar pemain. Alasannya, agar masing-masing sumber bunyi (suara manusia dan rebana) dari empat pemain dapat mempunyai file tersendiri. Ini penting dalam proses pengeditan. Namun karena bentuk demikian akan menghilangkan “roh” permainan, maka dibuatlah komposisi berhadapan di atas. Komposisi yang umum dilakukan, misalnya saat pentas di atas panggung, adalah bersaf: Ibu Cammana’ di tengah, di kiri-kanannya pemain lain.

Sebelum proses rekaman, setiap mic dicoba: mic untuk mulut dan mic untuk rebana. Selain mic untuk tiap pemain, juga ada dua mic khusus yang dipasang dibagian atas, dekat plafon. Letak mic sangat diperhatikan, demikian juga dengan sumber bunyi yang lain. Langkah kaki di atas karpet pun akan terdengar, untuk itu harus hati-hati dan orang-orang yang tidak berkepentingan di dalam berada di ruang rekaman. Setelah semua terpasang baik, parrabana diminta untuk latihan untuk selanjutnya proses rekaman. Cak Nun serius mengawasi para operator. Saat Ibu Cammana’ menyanyi dan menabuh shalawatnya, Cak Nun dengan khidmat mendengarkannya.

Perempuan-perempuan dari Desa Limboro dengan rebananya telah menembis sekat ruang, jarak, dan waktu serta lapisan kebudayaan dari “tradisional” ke “modern”. Ibu Cammana’ memang tidak seterkenal WS Rendra dan Cak Nun di ranah kesenian Indonesia dan dunia, namum proses yang mereka lakukan pasti sama. Keduanya telah membuktikan bahwa komitmen pada satu hal bukanlah pekerjaan mudah.

Inilah yang sulit kita lihat. Selama ini kita hanya dibuat terkesima pada hasil akhir dan tidak mengambil pelajaran dari proses. Ibu Cammana’ tidak tiba-tiba berada dalam lingkaran para maestro kesenian budaya Indonesia untuk kemudian masuk dapur rekaman, pasti ada proses sebelumnya. Tabuhan rebana dan kreativitas Ibu Cammana’ dalam mencipta lagu dan membuat komposisi tabuhan tidak terjadi secara instant, itu semua muncul dari proses berkesenian yang cukup panjang, penuh karakter, dan melibatkan banyak pihak, salah satunya adalah Bang Alisjahbana.

“Salama’ Amma’ …”

 “Amin ya rabbil alamin, Mak Cammana’ esok akan ke Jakarta menerima penghargaan Satya Lencana dari Bapak SBY melalui Membudpar pada minggu malam di Auditorium TVRI Senayan, Jakarta. Nonton yah!”, demikin isi SMS dari Sdr. Dalip, 25 Maret 2010.

Akhirnya cita-cita besar pemerhati seniman tradisi di Mandar, yang akhir-akhir ini dimotori Dalip, Sahabduddin, Pai dan kawan-kawan terwujud. Seharusnya dari dulu!

Cammana’ lahir di salah satu “empat negeri besar” (appe banua kaiyyang) yang membentuk Arajang Balanipa, yakni Samasundu, tahun 1935 (informasi dari kerabatnya kepada Sdr. Dalip; dalam Ensiklopedi Kebudayaan, Sejarah, dan Tokoh Kebudayaan Mandar karya Suradi Yasil, lahir 1944). Beliau lahir dari seniman besar Mandar dizamannya, yakni Zani. Selain sebagai seorang pemain rebana, bapaknya juga pemahat batu nisan (tinda’ kubur), guru pencak silat, guru tasawuf, dan mantan juru tulis kepala kampung. Bapaknya meninggal  tahun 1987.

Adapun ibundanya bernama Jo’e, seorang pemain kecapi, guru mengaji, dan guru spiritual. Ibundanya wafat tahun 2003.

Wajar Mak Cammana’ menjadi seorang maestro parrabana sekaligus guru mengaji dan spiritual. Darah sebagai seniman dan ulama mengalir deras-murni dalam darahnya.

Sebagaimana seniman-seniman Mandar, seperti pakkacaping, pacalong, dan parrabana (laki-laki), parrabana tobaine (dalam hal ini Mak Cammana) juga dibesarkan dan makan asam garam berkesenian dari rumah ke rumah; dari panggung kecil ke panggung kecil (baca dari kampung ke kampung). Beliau mulai bermain rebana dari rumah ke rumah pada tahun 1957.

Mereka tak besar oleh dapur rekaman atau konser-konser kolosal; mereka tetap orang biasa, saat tak manggung tetap melakoni kehidupan orang Mandar pada umumnya: bertani, memasak, menenun, dan lainnya. Tidak seperti artis-artis saat ini.

Dan yang khas pada seniman-seniman tua adalah kehidupan spiritualnya. Sepertinya lakon mereka di panggung tak bisa lepas dari ibadah. Setidaknya salam dan shalawat saat akan menghibur.

Mak Cammana’ dikenal dan unik dikarenakan parrabana tobaine di tanah Mandar tidaklah banyak. Untuk grup, setahu saya hanya grup yang dibina Mak Cammana’. Mungkin ada di kampung-kampung lain, tapi sampai saat ini belum saya dengar. Dengan kata lain, Mak Cammana’ adalah “benda langka”, maka dia jadi “mahal”. Belum lagi kemampuan spiritualnya (baca: ahli pengobatan tradisional/supranatural), kesahajaan hidupnya, serta pergaulannya dengan orang lain membuatnya semakin dihormati.

Saat ini Mak Cammana’ bermukim di kampung Pappang, Desa Limboro, Kec. Limboro, Kabupaten Polewali Mandar. Rumah panggungnya sekitar 50 meter dari jalan poros Tinambung – Alu. Di depan rumahnya ada bangunan permanen, merupakan studio tempat Mak Cammana’ mengajar muridnya mengaji dan atau main rebana. Studio yang berdiri atas dukungan banyak pihak, khususnya Bupati Polman, Ali Baal Masdar.

Hampir semua bupati Polewali Mandar (dulu Polewali Mamasa) memberi apresiasi terhadap Mak Cammana’. Tapi yang paling berkesan bagi diri Cammana’ adalah era (alm) Saad Pasilong. Mulai saat itu, Mak Cammana’ sering pentas di Makassar, di kegiatan Pekan Budaya Sulawesi Selatan. Puncaknya ketika beliau dibawa serta ke Singapura (1995). Peran Bapak Mukhlis Hannan amat signifikan kala itu.

Era (alm) Bupati Hasyim Manggabari juga. Mak Cammana’ difasilitasi untuk pentas di Jawa, khususnya Jombang dan Yogyakarta.

Persinggungan Mak Cammana dengan Yogyakarta adalah salah satu tonggak penting dalam kehidupan Mak Cammana’. Apa yang diperolehnya saat ini tak lepas dari persinggungan ini. Lebih tepatnya, Mak Cammana’ kemudian kenal dengan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Sepengetahuan saya, Mak Cammana’ bisa mendapat penghargaan karena adanya dukungan konkret dari tokoh bangsa Indonesia ini. Sebagai tambahan, cita-cita Mak Cammana’ untuk naik haji tak lepas dari bantuan Cak Nun.

Adanya hubungan antara Mak Cammana’ dengan Cak Nun tak bisa dilepaskan dari peran Halim HD (baca: “Catatan Kecil untuk Teater Flamboyant”) dan Bang Ali (Alisjahbana).

Mereka tokoh yang memainkan peran sentral, sehingga ada jembatan langsung yang menghubungkan kegiatan berkesenian antara Mandar dengan Jawa.

Alisjahbana (akrab dipanggil Bang Ali atau Bung Ali) lahir pada tanggal 27 Desember 1951 di Salarri’. Meninggal dunia pada tanggal 31 Juli 2005.

Saat Mak Cammana’ pentas di Yogyakarta pada Maret 2006, tangannya berkeringat dingin di tengah-tengah permainan rebananya di Mocopat Syafaat, mata-batinnya menyaksikan kehadiran Bang Ali bersama jamaah lain. Sesaat kemudian, Cak Nun meminta jamaah untuk mengirimkan Al Fatihah buat Bang Ali.

***

Parrawana towaine ‘pemain rebana wanita’ adalah Sekumpulan artis wanita ahli musik tradisional rebana. Irama lagu parrawana towaine   agak berbeda dengan irama lagu parrawana tommuane ‘pemain rebana laki-laki’.  Syair lagu parrawana towaine berisi kisah-kisah, nasihat-nasihat, dan tema keagamaan.

Biasanya dimainkan oleh 4-7 orang wanita. Pertunjukan biasanya diadakan pada malam hari, di atas rumah yang melakukan hajatan, misalnya perkawinan, sunatan, dan lain-lain. Umumnya parrawana diundang bukan untuk hiburan saja, tapi semacam pemenuhan nazar. “Kalau anak saya tammat mengaji, saya akan undang parrabana tobaine”. Jadi lebih bernuansa syukuran, sebab acara sudah selesai.

Bila akan diundang, parrabana tobaine diberi tahu jauh hari sebelumnya. Sebab jadwal mereka padat. Lokasi ada yang dekat (dari Limboro), antar kecamatan, antar kabupaten, antar provinsi, dan antar pulau. Ya, Mak Cammana’ pernah pentas di kabupaten lain di luar Sulawesi Barat, misalnya di Palopo dan Kalimantan Timur. Kebanyakan atas pemenuhan nazar si pengundang.

***

Dalam kacamata budaya Nusantara, Halim HD, budayawan, Mak Cammana’ adalah maestro, seseorang yang sangat ahli dalam bidangnya dan menekuninya selama puluhan tahun, bersama penari topeng dari Sunda, salah satu bissu di Bugis, dan seorang penari dari Bali. Semuanya sudah berumur tua.

Adapun dalam dunia agama, Ibu Cammana’ adalah “pengkhotbah”, yang menyampaikan pesan-pesan moral, nilai-nilai Islam, dan shalawat terhadap Rasulullah SAW lewat media seni, yaitu musik rebana. Unik dan sekaligus ironi, sebab bisa dikatakan Ibu Cammana’ dan kerabat yang biasa mendampinginya, merupakan satu-satunya parrabana tobaine, penabuh rebana yang dilakukan perempuan, di Mandar, Sulawesi Barat.

Tidak akan ada yang bisa menyamai tingkat kemahiran dan semangat spiritual yang dimiliki Ibu Cammana’. Ibu Cammana’ hanya ada satu di dunia ini, baik lampau maupun di masa mendatang. Meski demikian, itu tidak berarti bahwa generasi muda ataupun komponen masyarakat lain tidak bisa menirunya.

Semangat dan komitmen Ibu Cammana’ terhadap dunia agama dan seni harus kita hargai, apresiasi, dan kita tiru dalam bidang lain. Dan apa yang dilakukan Ibu Cammana’ harus menjadi pelajaran untuk generasi mendatang. Bagaimana caranya? Inilah yang dilihat oleh Cak Nun, bahwa kehidupan dan kegiatan berkesenian Ibu Cammana’ harus didokumentasikan. Salah satunya adalah merekam penampilan dan tabuhan rebana Ibu Cammana’.

Apa yang dilakukan Cak Nun harus membuat kita “cemburu” (dalam arti positif); harus ada kesadaran. Maksudnya, apresiasi penghargaan yang kita berikan ke Ibu Cammana’, dan unsur kebudayaan Mandar yang lain, jangan hanya tercermin dalam kebanggaan bahwa “Saya sebudaya dengannya”. Saat ini harus ada langkah konkret, baik langkah dokumentasi, pelestarian (berupa tetap melaksanakan unsur budaya tersebut selama tetap sesuai ajaran agama), mempelajarinya (melakukan penelitian) maupun menjadi pelaku budaya itu sendiri.

***

Sebenarnya apa jasa Mak Cammana’ terhadap Mandar? Menjawabnya bisa relatif. Tapi sudah pasti banyak dan terbukti, setidaknya bagi sebagian orang Mandar. Bukankah Mak Cammana’ seorang guru mengaji yang membuat orang (muridnya) bisa membaca kitab suci Al Quran? Bukankah beliau seorang yang mempunyai kemampuan supranatural (pengobatan) sehingga ada orang (sakit) yang disembuhkan olehnya? Dan Mak Cammana’ adalah guru dan pemain rebana!

Dia tidak melakoni 2-3 tahun, tapi sepanjang hayatnya. Sebab itu, beliau mewarisi (dan mewariskan) tradisi berkesenian Mandar. Anehnya, sepertinya kita lebih tergila-gila kepada orang Mandar yang tampil di KDI daripada terhadap Mak Cammana’. Saya bisa pastikan, uang orang Mandar yang mengalir/mendukung aktivitas berkesenian Mak Cammana’ baik langsung maupun tidak langsung jauh lebih sedikit dibanding sumbangan SMS (itukan uang juga!!!) orang dan pejabat Mandar ketika kontes KDI.

Ammaq Cammana’ akan menerima penghargaan di Acara Malam Anugerah Kebudayaan, dilaksanakan di Auditorium TVRI,Jakarta Pusat,Minggu, 27 Maret 2010.

Berdasar informasi yang dikirimkan Sdr. Dalif (yang mendampingi Mak Cammana’ ke Jakarta, bersama Kadis Budpar Polman, Pak Darwin), dalam Surat Keputusan Presiden Nomor 034/TK/Tahun 2009 Tanggal 30 Juli 2009 memutuskan bahwa yang menerima penghargaan Satya Lencana Kebudayaan atas jasa-jasanya terhadap negara dan bangsa Indonesia dibidang kebudayaan antara lain adalah:

1) Sophan Sophiaan (artis), 2) Ammaq Cammana’ (berperan aktif dalam upaya melestarikan, mengembangkan, mewarisi, dan menyebarkan jenis kesenian tradisional musik rebana kepada generasi selanjutnya dan menjadi inspirasi untuk penulisan budaya dan seni khas Mandar, serta aktif dalam membantu masyarakat melalui ketajaman spiritual dan religius), 3) Ki Satono (dalang), 4) Taufik Hidayat Udjo (penggiat kesenian angklung, Jawa Barat), 5) Mus Mualim (alm., musisi jazz Indonesia), 6) H. Rhoma Irama (musisi dangdut), 7) Anjar Any (alm., musisi keroncong langgam Jawa dan sastra Jawa), 8) Tilhang Oberlin Goeltom (pemain opera Batak), 9) Hj. Evi Meiroza Herman (penggiat kain songket khas Riau), dan 10) Linneke Sjerlie Watoelangkouw, (penyelamat waruga, makam leluhur di Minahasa, walikota Tomohon).

***

Setahu saya, Mak Cammana’ baru diberi penghargaan “kelas kampung”, pertama oleh Forum Sipakaraya (September 2009) di Tinambung dan Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar (November 2009) di Polewali. Tapi kok pemerintah Sulawesi Barat (dan kabupaten lain di Sulawesi Barat selain Polman) tak pernah memberi penghargaan kepada beliau?

Mak Cammana’ memang bukan pejuang (provinsi Sulawesi Barat), tak punya daya tawar politik, bukan orang kaya, bukan orang pragmatis. Beliau (hanya) seorang wanita baya penuh senyum yang sangat mencintai Nabi Muhammad SAW. Pukulan lembut-rampak di rebananya dihiasi shalawat-shalawat kepada orang yang sangat dicintainya.

***

Setahun setelah Presiden Republik Indonesia DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Surat Keputusan pemberian Satya Lencana Kebudayaan pada Cammana’, Juli 2010 Cammana’ kembali mendapat penghargaan dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, yaitu “Penghargaan Maestro Seni Tradisi Tahun 2010”. Sebab sebelumnya, Cammana’ sudah ke Jakarta untuk menerima piagam dan medali Satya Lencana Kebudayaan, piagam dan tropi sebagai maestro dikirim lewat pos. Secara simbolis diserahkan pihak Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar pada 20 Juli 2010 di Polewali.

Akhir tahun 2010, tepatnya 29 Desember 2010, untuk kesekian kalinya Cammana’ mendapat penghargaan dari Kabupaten Polman atas jasa dan dedikasinya kepada daerah. Selain Cammana’, tokoh lain yang mendapatkan adalah Andi Depu (pejuang kemerdekaan), Kolonel (Purn) H. Abdullah Madjid (Bupati Polmas 1996 – 1979), Kolonel (Purn) S. Mengga (Bupati Polmas 1980 – 1990), DR. Hc. H. Muhammad Masdar Pasmar (Ketua DPRD Polmas 1999 – 2003), KH. Arif Liwa (ulama), H. Notji Sjamsi (tokoh pendidikan), dan DR. H. Idham Khalid Bodi, M. Ag. (peneliti).

Penghargaan diberikan oleh Bupati Polewali Mandar, Ali Baal Masdar di Gedung Nusantara, Polewali, bertepatan Sidang Paripurna Hari Ulang Tahun Kabupaten Polewali Mandar yang ke-51.

image_pdfimage_print
Spread the love

Komentar