Tolak RUU Sisdiknas Tahun 2022, Ini Pernyataan Sikap APTISI Sulsel

MAKASSAR, DAERAHTERKINI.com – Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Wilayah IX A dan Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi (APPERTI) Sulawesi Selatan, menyatakan sikap menolak RUU Sisdiknas tahun 2022 (Grand Issu). Ketua APTISI IX Sulsel Prof Dr Basri Modding mengatakan penolakan ini berdasarkan hasil rapat koordinasi bersama anggota APTISI Sulsel yang berjumlah 195 PTS.

“RUU Sisdiknas membedakan antara dosen PTN dan PTS. Untuk dosen PTN diarahakan dalam aparatur sipil negara, sementara dosen PTS masuk dalam undang-undang ketenagakerjaan atau sederajat dengan buruh,” ujarnya, Jumat (23/9/2022).

APTISI dan APPERTI juga menyatakan sikap untuk membubarkan LAM PT Berorientasi Bisnis, bubarkan Komite Uji Kompetensi yang tidak sesuai dengan UU dn kembalikan ke perguruan tinggi masing-masing, menyelesaikan audit kinerja penggabungan PTS yang bertahun-tahun tidak selesai dan perijinan prodi yang lambat, dan naikkan KIP untuk PTS.

Semenjak diajukan oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) ke DPR RI, draf Rancangan Undang Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tahun 2022, terus menuai polemik dan penolakan.

Dalam berbagai kajian, RUU Sisdiknas berpotensi melahirkan berbagai masalah mulai dalam dunia pendidikan seperti soal nasib guru honorer, kurangnya jumlah guru, nasib dosen di perguruan tinggi swasta, kurikulum yang kaku dan berisi terlalu banyak pelajaran, hingga komersialisasi pendidikan tinggi.

Mengapa demikian, jika dilihat dari draf yang diajukan, RUU tersebut dicanangkan untuk mengintegrasikan dan mencabut 3 UU sekaligus, yakni UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Bahkan ada yang menyebut jika lebih dari tiga UU juga akan diintegrasi ke dalam RUU Sisdiknas. Dengan demikian, secara prinsip UU yang terintegrasi tersebut sebelumnya otomatis tidak berlaku atau terhapus.

Yang tidak kalah janggal adalah dalam proses perumusan RUU Sisdiknas oleh pemerintah dinilai sangat tidak transparan dan tidak demokratis, sebab tidak melibatkan banyak pihak. Sehingga keterlibatan masyarakat dalam hal partisipasi publik sangat minim sekali.

Padahal, dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ada lima tahap dalam proses pembentukan undang-undang. Kelima tahap tersebut adalah perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan.

Pada tahap perencanaan, pemerintah wajib bersifat terbuka menerima saran dan masukan publik baik draf naskah awal hingga naskah akademiknya. Ini seperti tidak terjadi dalam tahapan pembentukan RUU Sisdiknas oleh pemerintah. Dengan demikian, RUU Sisdiknas 2022 sangat merugikan pendidikan tinggi, khususnya perguruan tinggi swasta.

Salah satu pasal kontroversi adalah penghapusan pasal yang mengatur tentang tunjangan guru dan dosen. Dampaknya adalah, guru dan dosen sudah dianggap bukan lagi sebagai profesi sebab akan disetarakan dengan pekerja industri yang dinaungi oleh UU Ketenagakerjaan. Hal tersebut berdampak pada kualitas peserta didik nantinya.

Masalah lainnya juga muncul pada pasal yang mengatur tentang pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang disederhanakan. Ini akan menutup ruang kreativitas dan inovasi bagi perguruan tinggi dalam melaksanakan fungsi Pendidikan, Pengabdian, dan Penelitian itu.

image_pdfimage_print
Spread the love

Komentar