Surat Telegram Kapolri, Preseden Buruk Kebebasan Pers

MAMASA, DIKITA.id – Penerbitan Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021 tentang Pedoman Peliputan yang Bermuatan Kekerasan atau Kejahatan dalam Program Siaran Jurnalistik pada tanggal 5 April 2021, yang ditujukan kepada para Kapolda Up Kabid Humas berpotensi membatasi kebebasan pers yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Selain itu, penerbitan Surat Telegram tersebut juga menutup masuknya kritik-kritik membangun dari media selaku representasi publik terhadap lembaga kepolisian.

Dalam Surat Telegram huruf B poin 1 disebutkan, media dilarang menyiarkan upaya atau tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan Kepolisian yang tegas namun humanistik.

“Kalaupun medianya dihimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang humanistik, baik-baik, lalu apa gunanya fungsi pers yang harusnya memberitakan hal yang benar-benar terjadi, kalau baik ya baik, kalau buruk ya buruk,” kata Koordinator Advokasi AJI Indonesia, Wawan ketika dikonfirmasi via Whatsapp, Selasa 6 April 2021.

Pelarangan penyiaran upaya atau tindakan Kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan ini, berlawanan dengan ayat (2) Pasal 4 UU Pers yang berbunyi “terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran”.

Selain itu, ayat (3) Pasal 4 UU Pers juga menyebutkan, “untuk menjamin kebebasan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”.

Tentu, dalam menyajikan pemberitaan, pers juga memiliki koridor tersendiri yang telah jelas diatur dalam Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Penerbitan Surat Telegram Kapolri, yang ditandatangani Kepala Divis Humas Polri Inspektur Jenderal (Pol) Raden Prabowo Argo Yuwono, atas nama Kapolri ditujukan dalam pelaksanaan peliputan yang bermuatan kekerasan atau kejahatan, dalam program siaran jurnalistik (huruf B) dan bukan semata-mata mengatur program kehumasan Polri.

Oleh karena itu, Surat Telegram ini dikhawatirkan juga akan diterapkan pada peliputan-peliputan media massa atau pers pada umumnya yang melakukan peliputan kegiatan-kegiatan Kepolisian.

Pelarangan penyiaran upaya atau tindakan Kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan Kepolisian, dikhawatirkan justru akan menutup upaya bersama untuk mewujudkan reformasi di tubuh Kepolisian. Padahal, transparansi menjadi salah satu syarat utama dalam proses perbaikan kinerja dan profesionalitas Kepolisian.

Adapun, untuk poin-poin isi Surat Telegram Kapolri Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021 lainnya, Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menilai, isi materinya telah sesuai dengan UU Pers dan P3SPS.

Sehari setelah terbitnya Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021, Kapolri langsung mencabut Surat Telegram tersebut dengan menerbitkan Surat Telegram Nomor: ST/759/IV/HUM.3.4.5/2021 tanggal 6 April 2021 yang menyatakan pencabutan Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021 tentang Pedoman Peliputan yang Bermuatan Kekerasan dan/atau Kejahatan dalam Program Siaran Jurnalistik.

“Kami bersama sejumlah Aliansi dan beberapa organisasi asosiasi telah menanggapi Surat Telegram Kapolri yang merupakan preseden buruk bagi pers, walaupun sudah dicabut,” tegasnya.

Menyikapi terbitnya Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021 tanggal 5 April 2021, Komite Keselamatan Jurnalis menyampaikan beberapa hal.

Pertama Mendesak Kepolisian RI untuk tidak lagi melakukan pelarangan penyiaran, termasuk penyiaran upaya/tindakan Kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan Kepolisian. Pelarangan terhadap kerja-kerja jurnalistik merupakan pelanggaran terhadap UU Pers.

Kedua Meminta Kepolisian RI, untuk tetap terbuka terhadap kritik-kritik membangun dari manapun, termasuk pers demi kebaikan Kepolisian RI ke depan.

Ketiga Mengapresiasi keputusan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mencabut Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021. Meski Surat Telegram tersebut akhirnya dicabut, namun Komite Keselamatan Jurnalis berharap preseden serupa tidak lagi terjadi ke depan.

Tentang Komite Keselamatan Jurnalis dideklarasikan di Jakarta, 5 April 2019. Komite beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil yaitu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Kepada seluruh jurnalis di Indonesia, agar tetap menjalankan profesi sesuai dengan kode etik jurnalistik dan kode perilaku. Dalam menyajikan berita tetap secara faktual dan berimbang serta independen.

“Tanpa terpengaruh oleh apapun dan siapapun, semuanya kan tidak ada niat buruk kita untuk memberitakan sesuatu, prinsip jurnalisme itu kan semua yang kita beritakan untuk kebaikan bersama, tanpa ada paksaan dari pihak manapun,” tandasnya.

wa/rfa

image_pdfimage_print
Spread the love

Komentar