Mediator Internasional Mungkin Dibutuhkan untuk Akhiri Penyanderaan di Papua

Krisis penyanderaan di Nduga, Papua bisa diakhiri dengan kehadiran pihak yang netral, misalnya Komite Palang Merah Internasional (ICRC). Kuncinya, baik pemerintah maupun penyandera menyepakati jalan damai ini.

PAPUA, DIKITA.id – Juru bicara Jaringan Damai Papua, Yan Christian Warinussy menilai kehadiran mediator internasional sangat diperlukan dalam situasi penyanderaan di Papua. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sendiri sudah menyatakan hanya mau bertemu dan bernegosiasi dengan mediator internasional yang netral.

“Kalau orang itu dari Palang Merah Internasional atau organisasi yang berada di bawah UN (PBB -red), saya pikir itu minimal menjawab keinginan mereka,” kata Yan Warinussy kepada VOA.

“Tapi, dengan tujuan penting bahwa dia berusaha untuk menyelesaikan konflik. Khusus pada soal pembebasan pilot yang tidak berdosa ini,” imbuhnya.

Pesawat Susi Air nomor registrasi PK-BVY yang mendarat di Lapangan Udara Paro, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Tengah, dibakar TPNPB pada Selasa (7/2). Hingga berita ini diturunkan, Sabtu (11/2), pilotnya, Phillips Mark Mehrtens yang berkebangsaan Selandia Baru masih

Dipercaya Dua Pihak

Yan Warinussy juga menyatakan mediator yang dipilih memang memiliki tantangan di dua sisi. Satu, mediator harus bisa meyakinkan pihak TNI/Polri bahwa dia dapat dipercaya. Kedua, mediator juga pihak yang dipercaya oleh TPNPB itu sendiri.

“Supaya dia bisa dengan mudah berperan di dalam membangun komunikasi antara kedua pihak itu,” tambahnya.

Langkah ini, bahkan bisa berdampak jangka panjang. Kasus penyanderaan pilot dan upaya pembebasannya bisa menjadi pintu masuk untuk memulai langkah membangun perdamaian Papua ke depan.

“Meskipun ini langkah yang sangat-sangat tidak mudah,” kata Yan Warinussy lagi.

Selama ini memang banyak pilot berkewarganegaraan asing yang bekerja di Papua. Mereka menerbangkan pesawat sipil berukuran kecil ke wilayah-wilayah yang hampir tidak mungkin dicapai melalui darat. Pesawat itu mengangkut bahan makanan, pekerja sipil, tenaga medis maupun masyarakat umum.

Yan Warinussy mengatakan selama ini pilot-pilot itu tidak pernah diganggu oleh TPNPB.

Jangan Ada Korban

Direktur Perhimpunan Advokasi Kebijakan Hak Asasi Manusia (PAK-HAM) Papua Mathius Murib juga sepakat bahwa pemerintah harus segera mengirim tim negosiator yang baik dan netral. Kehadiran tim itu penting untuk memediasi konflik dengan baik. Selain itu juga, memastikan warga asing yang disandera dalam kondisi aman dan selamat.

Murib menekankan “negosiator tentu memikirkan, baik tentang cara dan solusi yang aman untuk semua, jangan lagi ada korban baru pada insiden kali ini.”

Dia berpesan, korban akibat konflik terus berjatuhan di kawasan Ndugama dan seluruh wilayah Papua.

“Kami menolak aksi brutal dan tindakan kekerasan yang diduga dilakukan oleh kelompok pimpinan Egianus Kogoya yang telah mengaku bertanggung jawab atas insiden pembakaran pesawat Susi Air dan menyandera pilot,” kata Murib.

“Seharusnya, tuntutan apapun, termasuk meminta pengakuan hak-hak politik dilakukan dengan cara simpatik dan damai, tidak menggunakan cara-cara kekerasan,” kata Murib lagi.

Dia mengingatkan, kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru. Siklus kekerasan semacam ini akan terus berputar di Papua, dan menyebabkan jatuhnya korban di semua pihak.

“Situasi kekejaman seperti begini akan kita biarkan sampai kapan?” gugatnya.

Pilot Harus Dibebaskan

Aktivis pembela HAM di Papua Theo Hesegem mengakui peran pilot seperti Phillips Mark Mehrtens dalam pelayanan masyarakat.

“Menurut saya, pilot juga melakukan pelayanan kemanusiaan. Sebenarnya, ada kebebasan bagi dia dan harus diberikan akses melayani masyarakat. Pertanyaannya, mengapa pilot ikut disandera?” kata Theo sembari menyesalkan pembakaran pesawat Susi Air.

“Pesawat tidak perlu dibakar karena pesawat yang dimaksud melakukan pelayanan di daerah-daerah terpencil. Pesawat itu melayani masyarakat yang sangat membutuhkan kehadirannya di daerah pedalaman,” tambahnya.

Theo sendiri sangat menyayangkan sikap TPNPB di kawasan Ndugama. Mungkin, lanjut dia, penyanderaan itu bagi TPNPB adalah satulangkah maju dalam mendesakkan perjuangan penentuan nasib sendiri atau Papua Merdeka.

Dia menyarankan pembentukan sebuah tim yang terdiri dari pemerintah Nduga, tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, perempuan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang dapat memberi masukan terkait langkah yang bisa diambil. Namun, di luar itu, Theo berpesan agar TPNPB membebaskan sandera tanpa syarat.

“Saya sangat mengharapkan kepada saudara Egianus Kogoya dan teman-temannya, pilot yang disandera untuk segera dibebaskan, tanpa masalah,” kata Theo.

Dia mengatakan hak pilot selama disandera juga harus diperhatikan. TPNPB bertanggung jawab atas perlindungan, kebutuhan makan-minum dan menjaga kesehatan pilot, selama berada di di hutan. Lebih jauh dari itu, pilot yang tidak terkait dengan konflik di Papua tersebut juga memiliki hak-hak yang harus dijamin. Termasuk, kata Theo, TPNPB harus mempertimbangkan kondisi psikologis keluarga pilot.

“Sekali lagi saya sampaikan dan meminta kepada Egianus Kogoya dan kawan-kawannya segera bebaskan pilot yang disandera di distrik Paro sehingga tidak terjadi tindakan operasi militer, karena Paro adalah daerah pengungsi,” imbuhnya. [ns/ft]

Source : VOA Indonesia Afiliasi DIKITA.id

image_pdfimage_print
Spread the love

Komentar