Polemik KLB Demokrat, Hairil: Rezim Jokowi Diuji

JOGJAKARTA, DIKITA.id – Founder Carita Demokrasi, Sulawesi Barat Hairil Amri, turut angkat bicara terkait polemik kepemimpinan di Partai Demokrat.

Sebelumnya, sejumlah pihak yang mengatasnamakan Partai Demokrat menggelar kongres luar biasa (KLB) pada 5 Maret 2021 lalu untuk melengserkan Agus Harimurti Yudhoyono atau (AHY) dan digantikan Kepala KSP Moeldoko.

Hairil mengungkapkan, KLB Partai Demokrat di Sumut inkonstitusional. Sebab, penyelenggaraannya menyalahi AD/ART Partai Demokrat (secara khusus) dan melampauhi model manajemen sengketa internal partai (secara umum), sebagaimana yang termaktub dalam UU NO. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

Dalam UU tersebut, khususnya dalam pasal 32 dan 33, secara terang dan jelas mengatur prosedur penyelesaian perselisihan dan konflik internal Parpol. Disana, di sebut bahwa Mahkamah Parpol-lah yang berwenang menyelesaikan sengketa internal sebelum masuk ke Pengadilan lingkup MA.

“Nah, dalam dinamika Partai Demokrat, khususnya sejumlah oknum yang menyelenggarakan KLB itu, tidak melalui prosedur sebagaimana yang termaktub dalam pasal 32 dan 33 UU NO. 2 Tahun 2011.” kata Hairil, Selasa (09/03/21).

“Sampai disini dapat pahami bahwa Pemerintah melalui kemenkumham dilarang oleh UU untuk mengakomodasi pembaharuan AD/ART serta Pergantian Pengurus DPP Demokrat hasil KLB,” terang Hairil.

Selain perintah UU No. 2 Tahun 2011 berkata demikian, juga sudah terdaftar lebih dulu AD/ART Partai Demokrat hasil Kongres 2020, begitu juga segenap kepengurusan dibawah kepemimpinan AHY, telah terdaftar di Kemenkumham terlebih dahulu.

“Artinya, secara internal harusnya KLB itu diselenggarakan berdasar pada hasil kongres 2020, bukan yang lain apalagi harus dipimpin oleh orang yang bukan kader partai tersebut. Dengan demikian, KLB Partai Demokrta ini sangat inkonstitusional,” tegasnya.

Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum Jogja ini juga menguraikan bahwa manajemen Sengketa Internal Parpol yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2011 itu dilatar belakangi oleh dua faktor. Pertama; untuk meminimalisir potensi intervensi pihak eksternal, termasuk pemerintah. Kedua; untuk melindungi rahasia atau informasi dapur partai di Indonesia. Artinya, apa yang telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2011 itu jika dilihat dalam aspek demokrasi sangat-sangat demokratis.

Dalam sejarah, kita bisa melihat bagaimana superiornya pemerintah, mislanya orba yang kemudian mengintervensi hasil kongres PDI 1996. Berbicara potensi dan ambiusitas politik tanpa dibarengi ketaatan pada rambu-rambu hukum akan menjurus pada otoritarian sekaligus menegasikan prinsip demokrasi.

“Disinilah Rezim Jokowi di uji, kalau pemerintah dalam hal ini kemenkumham mengakomodasi hasil KLB yang Inkonstitusional itu, maka rezim Jokowi akan membawa Indonesia ke arah otoritarian. Bagaimana tidak, salah satu ciri negara demokrasi adalah adanya supremasi hukum,” katanya.

Hemat saya, seharusnya seluruh Parpol yang menyepakati UU No 2 Tahun 2011 ini mengingatkan pemerintah untuk menolak hasil KLB yang hendak didaftarkan ke Kemenkumham. Hal ini akan menunjukkan bahwa adanya semacam komitmen moral seluruh Parpol untuk tidak sekadar mengesahkan UU tetapi juga mengawal keberlakuannya.

“Ini penting untuk disorot oleh seluruh element, termasuk generasi milenial. Sebab ini adalah contoh miring yang dipraktikkan oleh sejumlah nama penggagas KLB Demokrat itu,” kata Hairil.

Harap saya untuk seluruh milenial, mari kita menjadi bagian Civil Society yang aktif untuk mendorong demokratisasi di Indonesia. Dan KLB demokrat ini adalah momen bagi milenial untuk mengingatkan pemerintah agar  tidak keluar dari norma hukum dan demokrasi. Sebab, sebagai generasi pelanjut, mileniallah yang akan merasakan buruknya dimasa mendatang jika Negara kita hari ini tidak diurus dengan tepat. Demikian tutup hairil.

zul/rfa

image_pdfimage_print
Spread the love

Komentar