OPINI, DIKITA.id – Banyak yang bertanya, mengapa sebagian besar eks relawan Anies Baswedan di Sulsel tidak mengarahkan dukungannya kepada Cagub Andi Sudirman?
Jawabannya sederhana saja.
Jika mengacu pada teori perubahan sistem, maka spirit perubahan biasanya lebih banyak lahir dari orang-orang luar, yang baru akan masuk ke dalam sistem.
Kelebihan orang luar adalah, karena dapat memotret sistem secara utuh, termasuk untuk mengidentifikasi beragam masalah yang ada di dalam sistem tersebut.
Dari konteks inilah, dapat lahir keinginan untuk mengubah atau memperbaiki aneka masalah yang ada di dalam sistem.
Sebaliknya, mereka yang sebelumnya telah berada di dalam sistem, logikanya, tentu ingin terus melanjutkan, atau melestarikan yang sebelumnya sudah dia lakukan.
Ini juga sekaligus membenarkan semua kebijakan sebelumnya, baik itu benar atau salah, baik maupun buruk bagi rakyat. Itu hal yang lazim saja dalam dunia politik.
Sederhananya, mereka yang berpeluang besar dapat mengubah keadaan adalah yang bisa melihat masalah secara utuh dari luar sistem, bukan bagian dari sistem itu sendiri.
Kecuali itu, perubahan bisa saja digerakkan oleh orang yang berada dalam sistem, tetapi hanya jika didasari oleh lahirnya kesadaran penuh untuk mengakui adanya masalah di dalam sistem.
Ikhwal perubahan yang digerakkan oleh orang dalam ini juga tentu termasuk memiliki syarat yang cukup berat dalam perspektif politik, yakni kesediaan untuk mengakui kelemahan, kekurangan atau bahkan kegagalan diri sendiri saat menjadi bagian dari sistem yang dimaksud.
Nah, jika kita kembali mengacu pada spirit perubahan dan perbaikan bangsa yang dulu diperjuangkan para relawan Anies Baswedan, maka dalam skala kedaerahan, tentu hal yang sama juga menjadi acuan. Ini bagi mereka yang masih konsisten.
Karenanya, menjadi logis jika eks relawan Anies yang mendeklarasikan diri sebagai Relawan Perubahan Sulsel (RPS) baru-baru ini, lebih memilih mendukung siapapun yang bakal jadi “penantang” bagi Andi Sudirman yang sebelumnya menjabat Gubernur Sulsel.
Tak ada manusia sempurna. Sebagai eks petahana, Andi Sudirman telah menorehkan banyak hal-hal baik, sekaligus juga kinerja yang mungkin dianggap masih kurang baik selama jadi Gubernur Sulsel.
Terhadap hal-hal baik, tentu kita patut berikan apresiasi. Tetapi terhadap hal-hal yang kurang baik, alih-alih menyebutnya kegagalan, publik tentu berhak mengoreksi.
Salah satu bentuk koreksi publik adalah dengan menghadirkan penantang bagi eks petahana yang masih ingin maju di Pilgub Sulsel.
Harapannya tentu agar hal-hal yang kurang baik itu bisa diubah, diperbaiki oleh orang baru dari luar sistem yang mengusung agenda perubahan dan perbaikan yang jelas.
Kehadiran penantang dari luar sistem juga seharusnya jangan hanya dipandang sebagai ancaman bagi eks petahana. Apalagi jika mengaku punya banyak prestasi saat menjabat.
Malah, hadirnya penantang bisa dijadikan motivasi untuk berani keluar dari zona nyaman, merumuskan gagasan-gagasan terbaik untuk menambal kinerja yang ‘kurang optimal’ di periode sebelumnya.
Rasanya sulit untuk menghadirkan gagasan perubahan dan perbaikan jika tak ada kompetisi, jika tidak ada penantang yang berani melawan eks petahana. Padahal inilah esensi demokrasi itu sendiri, pada akhirnya untuk kesejahteraan rakyat.
Itulah mengapa para relawan dan pejuang perubahan tidak bisa menerima skenario menghadirkan kotak kosong di Pilkada. Paling minimal adalah head to head, dua pasang.
Karena bagaimanapun, kotak kosong merupakan perampokan atas hak demokrasi rakyat untuk bisa memilah dan memilih pemimpin yang mereka sukai dan harapkan bisa menghadirkan perubahan dan perbaikan.
Pada akhirnya kita mesti sadari, bahwa baik atau buruknya kinerja pemerintah, maka rakyat jualah yang akan merasakan.
Karenanya, rakyat berhak memilah dan memilih calon pemimpin terbaiknya karena uang pajak merekalah yang selama ini digunakan membiayai pemerintahan.
***
Komentar