NU dan Muhammadiyah Tolak HTI

MAMUJU, DIKITA.id – Gelaran Webinar yang diselenggaran oleh Lembaga ESENSI Sulawesi Barat berlangsung serius lagi padat pesan. Pasalnya, topik seputar Khilafah dan Populisme Islam rupanya telah menjadi sorotan dua Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) besar di Indonesia. Yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Foto : Lembaga ESENSI Sulawesi Barat Menggelar Webinar Tentang “Khilafah dan Populisme Agama”.

Ketua PW. Muhammadiyah Sulawesi Barat, Wahyun Mawardi mengungkapkan, bahwa memang dewasa ini ada wacana menghidupkan kembali Khilafah. Kendati secara tekstual, tidak ditemukan perintah yang tegas perihal pendirian nengara khilafah.

“Konsep khilafah ini terkesan utopis-romantis. Sebab realitasnya menunjukkan sejumlah upaya menyatukan umat Islam di seluruh dunia justeru masih kedodoran. Yang jadi persoalan bagaimana merealisasikan konsep khilafah secara empiris-realistis,” ungkap Wahyun yang juga sebagai pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulawesi Barat, Selasa, (17/11/20).

Dikatakan, bila konsep ini dipaksakan akan terjadi benturan teologis dan politis. “Karena itu, sikap Muhammadiyah tegas. Tidak setuju dengan agenda Khilafah di Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan agar tidak ada lagi pihak-pihak yang menggiring opini yang seolah-olah Muhammadiyah sedang dimasuki oleh para pengusung khilafah. Sebab hal itu dapat mencederai citra Muhammadiyah yang merupakan organisasi Modern dan Moderat.

Demikian halnya dengan Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama (NU) Sulawesi Barat, Adnan Nota. Katanya, terpaan populisme Agama telah membawa sejumlah persoalan yang kian pelik dalam konteks kebangsaan. Sebab, segalanya ingin serba dikaitkan dengan Islam.

Demikian pula dengan usungan ide khilafah. Hal tersebut menurutnya dipicu oleh doktrinasi yang menganggap bahwa politik merupakan bagian pokok dari Agama. “Sehingga kalau ada yang mencoba melakukan otokritik terhadap hal itu, maka langsung dilabeli sebagai kafir. Karena dianggap melawan firman Tuhan,” terang Adnan Nota, yang juga Kepala Kantor Kementrian Agama Majene.

Sementara, lanjutnya, dalam pandangan Imam Syafi’i, politik merupakan bagian dari Syariah dan salah satu cabang di antara cabang-cabanganya.

“Problem kedua ketika ide khilafah hendak diterapkan adalah belum jelasnya model penerapan yang dianut. Apakah akan menggunakan mazhab tertentu atau seperti apa. Kalau tidak, wajar jika hal ini disebut dengan labelisasi,” kata Adnan.

Hal paling mengerikan dari semua itu adalah ketika Agama dan politik tidak memiliki garis demarkasi yang jelas. “Ini bisa mengaburkan posisi Agama dalam ruang sosial kita. Bisa berbahaya bagi Umat Islam,” jelasnya.

Sementara itu, akademisi STAIN Majene, Dr. Muhammad Nasir mengungkapkan kekuatirannya terhadap potensi munculnya embrio baru Gerakan ala Hizbut Tahrir di Indonesia. Termasuk ketika ada aktivis HTI yang tiba-tiba berlabuh sebagai anggota salah satu Partai Politik.

“Ini menjadi tugas bersama sejumlah ormas mainstream agar benar-benar serius merespon persoalan ini. Jangan sampai justeru mereka yang menjadi dominan dalam arus perebutan pengaruh di mata umat,” tandasnya.

rls/rfa