OPINI, DIKITA.id – Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar kata “fitnah.” Secara umum, fitnah dianggap sebagai bentuk godaan atau cobaan yang dapat menjerumuskan seseorang. Namun, dalam kajian Islam yang lebih mendalam, kata fitnah memiliki makna yang lebih kaya. Fitnah, secara harfiah, berasal dari akar kata yang berarti “pembakaran dengan api.”
Dalam bahasa Arab, istilah ini pertama kali digunakan untuk proses pemurnian emas, di mana emas dipanaskan dalam suhu tinggi agar unsur-unsur lain yang bukan emas terbakar, dan yang tersisa hanyalah emas murni. Makna ini diambil untuk menggambarkan konsep ujian atau cobaan yang menyucikan dan menguji kemurnian hati manusia, sebagaimana api menyucikan emas.
Dalam Surah At-Taghabun ayat 15, Allah berfirman:
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَاللَّهُ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Artinya:
“Sesungguhnya harta-harta kalian dan anak-anak kalian hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Ayat ini mengingatkan bahwa harta dan anak, dua aspek yang sangat melekat dalam kehidupan kita, adalah ujian yang bisa menentukan apakah keimanan kita murni atau tidak. Layaknya emas yang diuji dengan api, keimanan seseorang diuji lewat harta dan anak. Melalui keduanya, seseorang bisa terlihat apakah ia mampu menjaga keimanan yang murni atau justru terpengaruh dan terlarut dalam keduanya, hingga melupakan tujuan hidupnya yang sebenarnya yaitu taat dan patuh kepada Allah.
Makna fitnah dalam konteks ini bukan hanya sebagai ujian yang menguji ketulusan iman, tetapi juga godaan yang berpotensi melalaikan manusia dari ketauhidan. Harta dan anak bisa menjadi cobaan yang menantang ketahanan iman seseorang. Ketika seseorang memiliki banyak harta, misalnya, ia mungkin tergoda untuk hidup mewah dan jauh dari sifat qana’ah (merasa cukup), atau bahkan jatuh pada kecintaan yang berlebihan terhadap dunia. Hal ini bisa memalingkan hati dari Allah dan ketakwaan. Demikian juga dengan anak-anak; rasa cinta yang dalam terhadap anak kadang membuat seseorang lebih mengutamakan keinginan anaknya daripada perintah Allah.
Pemahaman ini sejalan dengan penjelasan dari Ustadz Ahmad Musyaffah Abdul Rahim (UMAR), yang menguraikan lebih lanjut mengenai konsep fitnah dalam Al-Quran. Dalam kajian beliau, fitnah memiliki dua makna utama dalam hubungannya dengan harta dan anak.
Pertama, sebagai ujian yang menguji dan memurnikan, sehingga iman seseorang terlihat murni atau tercampur dengan unsur lain yang mengaburkan tauhidnya. Kedua, fitnah juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang menggoda, menggiurkan, dan berpotensi membuat lalai. Setelah proses pemurnian emas, yang tersisa adalah emas murni yang memiliki daya tarik—menawan dan menggiurkan. Begitu pula dengan harta dan anak, keduanya bisa menjadi hal yang sangat menarik hingga mampu menggoyahkan keimanan seseorang.
Sebagai contoh dalam konteks ayat lain, Surah Al-Buruj ayat 10 menyebutkan:
إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang menimpakan fitnah (cobaan atau siksaan) kepada orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.”
Dalam ayat ini, orang-orang yang melakukan fitnah terhadap kaum mukmin dijanjikan siksaan yang membakar karena telah menguji keimanan kaum mukmin dengan cara yang menyiksa. Di sini terlihat bahwa fitnah bisa berarti ujian yang menyakitkan, yang seharusnya bisa membuat seseorang kembali kepada Allah dan menjauh dari keburukan.
Mengapa Allah menyebutkan harta dan anak sebagai fitnah? Jawabannya adalah karena keduanya memiliki potensi besar untuk menjadi penyebab lalainya hati dari ketundukan kepada Allah. Harta yang melimpah dan anak yang disayangi bisa menjebak seseorang dalam kecintaan dunia yang berlebihan.
Seseorang yang tergoda oleh harta mungkin teralihkan dari sedekah dan lebih suka menumpuk kekayaan, atau bahkan terjerumus dalam perbuatan haram untuk menambah hartanya. Sementara itu, rasa cinta pada anak yang berlebihan bisa membuat seseorang mengabaikan kewajiban agama demi memprioritaskan kenyamanan anaknya, yang pada akhirnya bisa menjauhkan dari ketundukan kepada Allah.
Dari pemahaman ini, kita diajak untuk menyadari bahwa harta dan anak, meski merupakan karunia yang indah dari Allah, memiliki ujian tersendiri. Apakah kita bisa menjaga keimanan kita tetap murni di tengah godaan keduanya, atau apakah kita akan terperdaya dan melalaikan amanah Allah? Maka dari itu, Allah mengingatkan kita bahwa hanya dengan tetap berpegang teguh pada ketaatan kepada-Nya, seseorang dapat lulus dari ujian ini. Di sisi Allah-lah pahala yang besar menanti bagi mereka yang mampu mengatasi godaan dunia ini dan menjaga keimanan mereka tetap teguh.
***
Komentar